"...Cinta
itu seperti matahari yang memberi terang di kehidupan ini...", tulis
seorang perempuan cantik. Sebuah ungkapan pendek namun penuh filosofi.
Goresan itu mengingatkan saya pada Jalaludin Rumi, perenung kemanusiaan
yang akhirnya menuai kematian paling bersejarah di abad ke enam hijriah.
Cinta memang telah menjadi sebuah "wirid" yang selalu merasuk
pada jiwa-jiwa tanpa membosankan. Dan, perenungan akan cinta akan
membawa kita pada kebesaran Tuhan. Karena dari situlah pancaran cinta
menggapai seluruh batas-batas waktu dan ruang.
Dalam
pengertian itu, Rumi menegaskan: "Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta,
akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapan-Nya. Keimanan yang
disuarakan Rumi adalah keniscayaan yang sampai saat ini tak
terbantahkan.
Di kedai ini, berbicara seputar pemaknaan cinta
pun tak kalah hebatnya penyair sufi yang mabuk cinta. Di mana, satu
persatu dari mereka yang mengusung semangat pencarian cinta, terasa
begitu dinamis dan mencerahkan.
Seolah kita sedang berada di
sebuah "tambang", untuk mendulang mutiara-mutiara cinta yang bertebaran
dalam warni-warni kemilau hati yang kian terpancar indah dan
menggairahkan.
Semakin jauh menelusuri dan membahasakan
anugrah kebesaran cinta tersebut, maka kita pun seolah sedang terjangkit
"kolestrol cinta". Sebuah jenis kolestrol yang justru menyehatkan jiwa
dan pikiran kita bukan sebaliknya.
"Kerana cinta kemalangan
menjelma keberuntungan, Kerana cinta rumah penjara tampak bagaikan kedai
mawar.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar